Pernahkah Anda menyaksikan pebisnis super sibuk? Kemana mana menenteng banyak handphone.
Saking sibuknya hingga tak nampak keren, yang terbit malah rasa iba,
jatuh kasihan. Bunyi deringnya sambung menyambung, terkadang belum
selesai pembicaraan, dering berikutnya sudah menggema. Pebisnis yang tak
lagi memiliki “kemerdekaan” atas waktunya.
Sebut
namanya Mas Joko, pebisnis garment kota Buaya yang usahanya makin
bersinar cerah. Kenaikan kurs Dollar yang bagi sebagaian orang adalah
nestapa, tak berlaku bagi dirinya. Bisnis busana muslim yang tiga tahun
lalu digelutinya saat ini makin berkibar.
Ini dikarenakan pasar beberapa Negara ASEAN menggeliat menerima produknya, demikian pula pasar dalam negeri yang tak kalah Sexy.
Sehingga organisasi bisnisnya pun mulai mekar. Dahulu pegawainya hanya
beberapa dengan pekerjaan beraneka rupa. Karena urusan yang dikelola
masih sederhana, mereka dapat mempraktekkan rangkap kerja.
Seiring
waktu bergulir, satu persatu pegawai baru direkrut dan masuk memperkuat
bagian team bisnisnya . Hingga hari ini tak kurang 200 orang telah
menjadi pegawainya. Logikanya semakin banyak orang yang mengelola akan
semakin ringan beban kerja. Tapi kenyataanya Mas Joko merasa urusannya
makin tambun bejibun dan semua permasalahan harus bermuara padanya.
Untuk
alasan mempermudah akses , Mas Joko mulai menambah handphonenya
hingga beranak pinak menjadi empat. Bukan sebagai aksesoris simbol
keberhasilan melainkan agar semua urusan langsung dapat cepat diketahui
dan ditangani. Handphone-1 untuk Supplier, Handphone-2 untuk Customer, Handphone-3 untuk Accounting dan Personalia, Handphone-4 line khusus urusan pribadi. Asumsinya sebagai pemimpin bisnis ia harus paham dan tahu segala urusan.
Apakah
dengan metode ini segala kerumitan terselesaikan? Tidak, salah satu
indikatornya keluarga mulai protes. Istri dan anak-anak kehilangan sosok
figur ayah dan suami yang hangat, sekarang berganti menjadi “monster asing”. Sensitifitasnya makin massive, gampang tersulut amarah dan mulai luntur canda tawa renyah yang menjadi ciri khasnya.
Rupanya
meski si Mas sudah berada di rumahpun terkadang pekerjaan tetap
mengekornya. Raganya pulang, tetapi tidak dengan jiwa dan pikirannya.
Merasa tak pernah rehat, si Mas cepat terpicu amarahnya, beban yang
melampaui kapasitas menimbulkan kepenatan.
Suatu hari dalam satu kesempatan saya bertatap muka dengan Mas Joko untuk makan siang di sudut food court mall
ibu kota. Dia mencurahkan segenap persoalan yang selama ini membelit,
menyita waktu dan pikirannya. Rupanya bergaya hidup yang tak semestinya
lebih banyak duka daripada sukanya.
Untuk mencari muasal persoalan Saya lontarkan beberapa pertanyaan yang akhirnya menghantar ke akar masalah.
Tiga puluh lima menit berikutnya Saya menemukan kenyataan bahwa meski sudah ada fungsi personalia yang dijalankan, ternyata jobdesk belum sempurna. Sinyalemenya jobdesk hanya bermuatan tugas, dan tanggung jawab bagi pegawai dan tak membagi ruang adanya pembagian wewenang.
Bagi saya ini persoalan yang kerap dipraktikan oleh pebisnis kita dalam management usahanya. Sebagaimana sering dipaparkan peserta Workshop Rahasia Membangun SOP Tepat yang saya helat juga saya jumpai dalam kegiatan coaching di beberapa client.
Wewenang
adalah pendelegasian sebagian hak atasan kepada pegawai dibawahnya
sehingga mereka dapat memutuskan sesuatu yang menjadi kewenangannya
tanpa perlu mengkonfirmasikannya. Jika wewenang telah diberikan, urusan
tak semua perlu bermuara kepada Mas Joko.
Kini
beban si Mas mulai berkurang tak semua harus diselesaikanya. Dan jumlah
handphone itupun akan terpangkas hanya sesuai kebutuhan, bagaimana
menurut Anda?
Sumber : PortalPengusaha.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar